Surat Penolakan dan Permohonan Pencabutan Surat DandenmaNo. SE.24/II/2012 tanggal 22 Februari 2012

Minggu lalu, FKKPRHS telah mengirimkan surat penolakan kepada Dandenma. Berikut adalah salinan surat tersebut.

Dengan hormat,

Sebelumnya perkenankan kami dari Forum Komunikasi dan Kerukunan Penghuni Rumah Hankam Slipi (FKKPRH Slipi) memperkenalkan diri. Forum kami adalah sebuah perkumpulan yang terdiri dari putra-putri penghuni rumah Hankam Slipi, yang bergerak dalam bidang kepemudaan, kemasyarakatan, olah raga, social, dan lainnya yang bertujuan tetap terjaganya kerukunan, sifat kekeluargaan dan gotong royong di perumahan Hankam Slipi.

 

Bapak Panglima TNI yang kami hormati,

Kami para putra dan putri purnawirawan, janda, dan yatim-piatu sangat kecewa terhadap tindakan sepihak yang dilakukan oleh aparat TNI yang telah mengabaikan hukum dan kebijakan yang berlaku secara nansional, dengan menyampaikan alasan yang sangat klise yaitu kekurangan rumah bagi prajurit aktif. Padahal setelah kami pelajari alasan itu sungguh tidak dapat dijadikan alasan melakukan tindakan melanggar hukum dan HAM kepada para penghuni yang tidak lain adalah orang tua kami.

 

Tindakan sepihak tersebut adalah dengan diterbitkannya Surat Edaran No.24/2/2012 tanggal 22 Februari 2012, dari Dandenma Mabes TNI yang ditandatangani oleh Bp. Kolonel Inf. I.G.B. Herry Atmika, diantaranya berisi mengenai perubahan warna kartu penghunian, yaitu :

  1. Surat Ijin Penempatan (SIP) Rumdis warna Hijau untuk Anggota TNI dan PNS Kemhan/Mabes TNI yang masih aktif dan berlaku selama 2 (dua) tahun.
  2. Surat Ijin Penempatan (SIP) Rumdis warna kuning untuk anggota TNI non organik Kemhan/Mabes TNI dan berlaku selama 1 (satu) tahun
  3. Surat Ijin Keterangan Tinggal (SIKT) Rumdis warna putih untuk anggota Purnawirawan, Wredatama dan Warakawuri dengan masa berlaku 6 (enam) bulan.
  4. Surat Keterangan (SK) warna merah bagi penghuni Rumdis yang sudah tidak berhak (Putra dan Putrinya, Saudara, dll.) dengan batas waktu penempatan 3 (tiga) bulan setelah diberikan surat pengosongan Rumah Dinas.
  5. Nomor Rumah Dinas disesuaikan dengan warna Surat Ijin Penempatan (SIP).

 

Hal ini membuat hati kami para putra-putri purnawirawan merasa tercederai. Bagaimanapun orang tua kami adalah pejuang yang telah MEREBUT dan MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN serta KEDAULATAN  NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA secara ikhlas bahkan dengan nyawanya sekalipun, maka dengan rasa kemanusiaan dan hak asasi, kami sepakat :

 

MENOLAK kebijakan Komandan Detasemen Markas Besar TNI yang akan mengubah warna SIP para penghuni perumahan sebagaimana surat Kolonel Inf. I.G.B. Herry Atmika, dalam kedudukannya sebagai Dan Denma Mabes TNI, dengan Surat Edaran No.24/2/2012 tanggal 22 Februari 2012. Adapun yang menjadi pertimbangan dan dasar penolakan kami adalah sebagai berikut:

 

  1. 1.         Tentang Dasar Hukum.

Bahwa adalah salah bila Dandenma Mabes TNI menyebutkan tempat yang kami huni adalah rumah dinas, karena sejak 1975, para penghuni telah membayar dengan uang pribadi untuk perbaikan fasum, fasos, pemeliharaan, listrik, pdam, telepon, dan PBB. Jadi TIDAK BISA DISEBUT LAGI SEBAGAI RUMAH DINAS. Karena tidak lagi merupakan Rumah Dinas, kami seluruh warga telah sepakat bahwa rumah yang telah kami huni sejak tahun 1970 kami sebut sebagai RUMAH NEGARA. Sehingga para penghuni yang telah menempati mempunyai hak untuk memiliki Rumah Negara tersebut dengan didasarkan kepada ketentuan hukum yang berlaku dan wajib ditaati oleh seluruh bangsa Indonesia termasuk dalam hal ini lembaga TNI yaitu :

  1. Pasal 28 H UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
  2. UU Nomor 72 Tahun 1957 tentang pengesahan UU Nomor 19 Drt Tahun 1959 tentang Rumah Negeri sebagai UU,
  3. UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria,
  4. PP Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 31 Tahun 2005,
  5. PERPRES Nomor  11 tahun 2008
  6.       PERMEN PU Nomor 22/PM/200

 

  1. 2.         Tentang Sejarah Rumah.

Pada masa lalu, pemerintah mengakui dan menyadari belum dapat memenuhi usaha meningkatkan kesejahteraan para pegawai negeri, termasuk dalam hal ini prajurit TNI yang bertugas di lingkungan Kementerian Pertahanan RI dan Mabes TNI. Ketidakmampuan tersebut dikarenakan oleh masih minimnya keuangan negara  guna memenuhi kebutuhan pemenuhan kesejahteraan tersebut. Sehingga dengan kesadaran yang tinggi maka prajurit yang pada saat itu masih aktif bahu-membahu bersama pemerintah membangun rumah dan diberikan nama komplek militer, selain sebagai rasa persatuan dan kebanggaan tetapi juga sebagai pemenuhan strategi pelaksanaan tugas anggota TNI yaitu sebagai dinamisator dan stabilisator. Itulah sebabnya letak perumahan yang dibangun sebagian besar di daerah pelosok (tempat jin buang anak) yang saat ini sebagai akibat kemajuan pembangunan telah berada di daerah perkotaan dan sangat strategis karena diapit mall, apartemen, dan perumahan elite serta menjadi pusat perkotaan. Di beberapa jenis perumahan lain diadakan dengan dana pemerintah yang hanya cukup untuk membeli material sederhana yaitu gamping dan batako, sementara anggota sendiri yang bergotong royong membantu pembangunan mulai dari penyiapan konsumsi sampai tenaga (low cost housing project) dengan harapan setelah ditempati selama 5 tahun dapat dimiliki. Sejarah pengadaan lainnya adalah rumah pengggantian uang hotel, bagi mereka yang memilih uang hotel diberikan uang dan mereka yang memilih rumah dibangunkan rumah dengan harapan akan menjadi milik sendiri dan sebagainya.

 

Khusus untuk perumahan Hankam Slipi pada th 1969 dibangun:

a)    12   unit type F

b)    131 unit type G

c)    89   unit type K

d)    62   unit type H

e)    Taman Kanak-kanak

f)     Sekolah Dasar

g)    Mesjid Nurussalam

h)   Barak untuk batalion/kompi Pengawal

i)     Dapur

j)      Polikloinik kesehatan yang kini menjadi RS Patria IKKT

k)    Garasi untuk kendaran lapis baja (tank/panzer)

 

Namun seperti diketahui bahwa sejak tahun 1975 Dephan/Mabes TNI tidak pernah memberikan biaya untuk pemeliharaan dan perbaikan bangunan, sehingga pemeliharaan dan perbaikan dilakukan atas biaya penghuni dari penghasilan/gaji sendiri.

 

Demikian pula untuk biaya perbaikan sarana/prasarana berupa fasum dan fasos diperbaiki dengan cara swadaya, sehingga tidak bisa dikatakan Komplek Hankam/Mabes TNI.

 

  1. 3.         Tentang Siklus Pengadaan Sampai Dengan Penjualan Rumah.

Berdasarkan kondisi riil bahwa pemerintah belum bisa memenuhi upaya peningkatan kesejahteraan itu pulalah, maka pemerintah membuat UU Darurat tentang rumah negeri nomor 19 Tahun 1955, Oleh karena itu semasa masih aktif anggota kami dipersilahkan menempati rumah negara (dahulu negeri) dan apabila telah memenuhi periodisasi masa dinas serta penempatan rumah negara sesuai UU dapat dibeli dengan cara sewa beli dan sebagai hasil penjualan, maka uangnya dikembalikan ke kas negara untuk kemudian disubsidi negara guna membangun kembali rumah negara yang baru guna ditempati oleh prajurit/ pegawai negeri yang baru. Dengan demikian akan terjadi sistem berupa siklus pengadaan sampai dengan penjualan rumah negara sebagai wujud upaya pemerintah memenuhi rumah tinggal bagi pegawainya. Itulah sebabnya telah terjadi penjualan rumah negara di berbagai kementerian yang pernah ada, tetapi tidak dilakukan di Kementerian Pertahanan dan TNI (kecuali di TNI AL pernah terjadi). Inilah yang menyebabkan manejemen perumahan di Kementerian Pertahanan RI dan TNI tidak terbangun dengan baik. Akhirnya para Purnawirawan/Janda/Pensiunan PNS/anak Yatim-piatu selalu di cap “ingin menguasai rumah bagi prajurit yang baru”.

 

  1. 4.         Tentang Kebijakan Pengusiran.

Sejak didirikannya lembaga TNI, masalah yang utama yang tidak menjadi perhatian maksimal adalah minimalnya usaha meningkatkan kesejahteraan prajurit. Hal ini disebabkan minimnya anggaran TNI, ketidakpedulian pimpinan, belum adanya sistem manajemen perumahan yang baik, dan sebagainya. Berdasarkan sejarah diperoleh fakta bahwa kelemahan-kelemahan tersebut di atas telah mengakibatkan permasalahan yang krusial dan tidak dapat hanya diakhiri dengan mengusir para purnawirawan/janda/pensiunan PNS/anak yatim-piatu yang telah menempati rumnah negara dengan sejarah yang berbeda-beda antara komplek perumahan yang satu dengan yang lain sebagaimana tersebut pada nomor 2 di atas. Sesungguhnya TNI menyadari bahwa  purnawirawan/janda/pensiunan PNS/anak yatim-piatu jauh lebih mengalami kesulitan dibandingkan dengan para prajurit yang bertugas pada saat ini yang mulai terperhatikan kesejahteraannya yaitu standar gaji yang lebih baik dan pemberian remunerasi sebagai tambahan tunjangan kinerja. Sehingga keluhan prajurit kekuarangan tempat tinggal juga dialami oleh anggota kami dan lagi tidaklah mungkin terselesaikan masalahnya, jika hanya mengutik-utik anggota kami. Oleh karena itu, pilihan solusi berupa pengusiran atau apapun namanya, adalah pilihan yang sangat tidak cerdas dan tidak manusiawi serta melanggar hukum (dalam arti luas).

 

  1. 5.         Tentang Kebijakan Nasional.
    1. a.    Moratorium.

Para purnawirawan/janda/pensiunan PNS/anak yatim-piatu selaku penghuni, telah mengambil alih seluruh kewajiban pemeliharaan rumah, bahkan hampir seluruhnya di antara mereka telah dengan terpaksa membangun kembali rumah yang mereka tempati dengan harapan kelak dapat membeli (bukan meminta) rumah yang mereka tempati seperti yang telah diatur dalam UU tentang Rumah Negara dan peraturan pelaksanaannya. Sehingga purnawirawan/janda/pensiunan PNS/anak yatim-piatu melakukan perlawanan penggusuran yang dilakukan pada sekitar 2008 – 2009 dan akibatnya menjadi head line pemberitaan di berbagai media masa baik cetak maupun  elektronika, sehingga mendorong DPR RI Cq. Komisi I mengundang Menteri Pertahanan RI dan panglima TNI untuk menyepakati menghentikan semua bentuk tindakan yang diberi nama “penertiban” dan disepakati pula dalam moratorium segala bentuk penertiban sambil menunggu adanya solusi yang komprehensif. Moratorium tersebut pada saat ini telah direkomendasikan kembali oleh Panja Pertanahan dan perumahan di lingkungan Kementerian Pertahanan RI dan TNI.

 

 

  1. b.    Masalah Tanah dan Rumah.

Sejak permasalahn rumah negara dan tanah di lingkungan Kemenhan RI dan TNI ramai diberitakan dan menjadi permasalahan secara nasional, maka DPR RI Cq Komisi I telah membentuk sebuah Panitia Kerja yang bekerja selama 2 (dua) tahun sejak 2009. Panja yang diberikan nama tanah dan rumah dinas di lingkungan Kemnhan RI dan TNI tersebut kini telah mengeluarkan rekomendasi yang antara lain menyebutkan sebagi masalah “internal” yaitu antara Kemenhan RI dan TNI dengan para Purnawirawan dan keluarganya dan kemudian merekomendasikan kepada Menhan RI dan TNI untuk mencari solusi komprehensif “masalah tanah dan rumah dinas” dan sepanjang belum terdapat solusi komprehensif tersebut maka moratorium masih tetap berlaku.

 

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, kami Forum Komunikasi dan Kerukunan Penghuni Rumah Hankam Slipi sekali lagi menyatakan “menolak kebijakan Dandenma Mabes TNI”, karena bertentangan dengan rasa keadilan dan melanggar HAM serta hukum (dalam arti luas) yang berlaku termasuk tidak terbatas dalam hal ini melanggar kebijakan nasional moratorium yang telah disepakati bersama dan oleh karena itu meminta kepada Panglima TNI untuk segera mencabut Surat Edaran Dandenma Mabes TNI dimaksud di atas.

 

Demikianlah atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

 

 

Jakarta, 3 April 2012

 

Forum Komunikasi dan Kerukunan

Penghuni Rumah Hankam Slipi

 

 

Aa Auliasa Ariawan

           Ketua

 

 

Tembusan :

  1. Presiden RI
  2. Ketua DPR RI Cq Ketua Komisi I
  3. Menko Polhukam RI
  4. Menteri Pertahanan RI
  5. Komnas HAM RI
  6. Sekjen Wantannas RI
  7. Deputi Menteri Bidang Koordinator Hukum Menkopolhukam RI
  8. Para Kepala Staf  Angkatan TNI (Darat, Laut dan Udara).
  9. Komandan Komplek Hankam Se-Jakarta
  10. Aliansi Penghuni Rumah Negara (APRN)
  11. FKPPN
  12. Yayasan LBH Indonesia
  13. KONTRAS
  14. Pertinggal